Pengertian Tawasul Dan Dalil-Dalilnya
Tawasul artinya mengerjakan sesuatu amal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dalam Alquran ada tersebut perkataan “WASILAH” dalam dua tempat, yaitu:
1. Pada Surat al Maidah ayat 35, yang artinya ” Hai orang-orang yang beriman! patuhlah kepada Allah, carilah jalan – yang mendekatkan – kepadaNya, dan berjuanglah dijalan Allah, supaya kamu beruntung ” (al Maidah : 35).
2. Pada surat al Isra’ ayat 57, yang artinya “ mereka mencari jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah ” (Al Isra’ : 57)
Kalau dicontohkan pada situasi
keduniaan, umpamanya kita akan minta pekerjaan kepada suatu jawatan,
tetapi kita tidak begitu dikenal oleh kepala kantor jawatan itu, lalu
kita mencaari jalan yaitu menghubungi sahabat kita yang bekerja pada
kantor itu dan dengan pertolongannya permintaan kita jadi terkabul. Atau
kita langsung menemui kepala kantor dan langsung memohon kepadanya
untuk meminta pekerjaan dengan memberi tahu bahwa kita adalah teman
dekat anaknya.
Jangan keliru paham, kita minta
pekerjaan hanya kepada kepala kantor, bukan pada kawan kita tadi atau
pada anaknya, akan tetapi kawan kita atau anaknya itu sekedar membuka
jalan untuk mendapatkan fasilitas.
Begitu juga berdoa dengan wasilah atau tawasul kepada Allah. Contoh-contohnya:
a. Kita datang kepada seorang ulama yang
dianggap mulia dan dikasihi Allah, lalu kita katakan pada beliau: saya
akan berdoa memohon ini atau itu pada Allah, tapi saya harap pula tuan
Guru berdoa pada Allah bersama saya, supaya permintaan saya dikabulkan.
b. Kita datang ziarah kepada Nabi di
madinah, ketika itu, -taroklah – beliau masih hidup atau pada ketika
beliau sudah wafat, maka kita berdoa disitu dan kita berharap agar Nabi
Muhammad saw berdoa akan kita pula kepada Allah.
Dalil-dalil tentang tawasul
1. Surat An Nisa : 46, yang artinya ”
jikalau mereka telah menganiaya dirinya (berbuat dosa) lantas datang
kepada mu (hai Rasulullah), lalu mereka memohon ampun kepada Allah dan
Rasul pun memohon ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati, Allah
Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang ”. Dalam ayat ini dinyatakan
bahwa sekalian orang yang telah terlanjur membuat dosa apabila mereka
datang kepada Rasul, minta ampun kepada Allah dihadapan Rasul dan Rasul
meminta ampunkan pula, maka orang itu akan diterima taubatnya. Jangan
salah tafsir, mereka bukan minta ampun kepada Nabi, tetapi meminta ampun
kepada Allah dihadapan Nabi, dan Nabi pun meminta ampun pula kepada
Allah, maka itu adalah lebih baik lagi karena beliau telah menolong
sahabatnya.
2. Dalam Shahih Bukhari,” Dari Anas (bin
Malik), bahwasanya Umar bin Khattab R.A adalah apabila terjadi kemarau,
minta hujan ia dengan Abas bin Abdul Muthalib, maka beliau berkata:” Ya
Allah bahwasanya kami telah bertawasul kepada Engkau dengan Nabi kami,
maka Engkau turunkan hujan, sekarang kami tawasul kepada Engkau dengan
paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan itu.” (Hadist ini dirawikan oleh
Imam Bukhari dan Baihaqi – lihat Sahih Bukhari 1 hal.128 dan Baihaqi
(sunan al Kubra) II hal.352)
Dalam hadist ini, Saidina Umar bukan saja bertawassul dengan Nabi, tetapi juga dengan paman Nabi Saidina Abbas bin Abdul Muthalib. Ini satu bukti bahwa bertawassul itu boleh dengan orang yang lebih rendah walaupun ada yang lebih tinggi. Artinya kita bukan saja boleh bertawassul dengan Nabi, tetapi juga boleh dengan ulama-ulama dan orang-orang saleh lainnya. PERHATIKAN benar-benar bahwa Saidina Umar bukan minta hujan kepada Nabi atau kepada Abbas, tetapi kepada Allah, sedangkan Nabi saw dan Abbas r.a adalah sebagai orang yang dipakai dalam tawassul, karena beliau-beliau itu adalah kekasih Allah.
KESIMPULANNYA bahwa menurut paham
AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH adalah harus dan sah bertawassul dengan Nabi
Muhammad saw, baik ketika beliau hidup ataupun sesudah beliau wafat.
Begitu juga boleh bertawassul dengan nabi-nabi dan rasul-rasul lainnya,
dengan aulia-aulia dan orang-orang saleh. Kita kaum ASWAJA tidak
mempercayai Nabi mengadakan TA’SIR (yang memberi bekas), memberi manfaat
pada hakikat, memberi mudharat dengan jalan mengadakan, dan juga tidak
bagi nabi-nabi lain baik yang telah wafat atau masih hidup, tetapi hanya
berkat mereka diambil karena mereka kekasih Allah. memcipta dan
mengadakan hanya milik Allah.
Orang-orang yang memperbedakan antara orang yang hidup dengan orang yang mati, maka orang itu mengiktikadkan bahwa orang hidup bisa menciptakn apa-apa dan orang mati tidak bisa lagi. Orang-orang yang membolehkan tawassul dengan orang yang masih hidup tetapi melarang tawassul dengan orang-orang yang telah wafat maka orang itu pada hakikatnya telah masuk syirik dalam iktikad dan tauhid mereka, karena mereka mengiktikadkan bahwa yang hidup bisa mencipta/mengabulkan sedang yang telah wafat tidak bisa lagi.
( Sumber : 40 masalah agama, K.H SIRAJUDDIN ABBAS )